Tanggal: 21 Aug 2025
Kategori: Editorial
Post dari: Admin
Pantau SID. - Perjalanan digitalisasi desa melalui implementasi Sistem Informasi Desa (SID) semakin menunjukkan dinamika yang menarik sekaligus menantang. Data terkini dari pemantauan Pantau SID mengungkapkan potret yang penuh warna: di satu sisi ada desa-desa yang berhasil memanfaatkan teknologi dengan optimal, namun di sisi lain masih banyak desa yang tertatih menjaga keberlanjutan layanan digitalnya.
Dari tren keterhubungan situs desa, terlihat bahwa jumlah desa yang online sempat melonjak tajam hingga menembus angka di atas 800 desa aktif pada awal Agustus 2025. Angka ini menggambarkan optimisme sekaligus bukti bahwa desa mampu beradaptasi dengan cepat. Namun lonjakan tersebut tidak bertahan lama: sejak pertengahan Agustus, kurva menurun drastis hingga menyisakan hanya sekitar seratusan desa yang konsisten terpantau aktif. Fenomena ini mengindikasikan bahwa banyak situs desa masih bersifat βmusimanββaktif ketika ada pendampingan atau intervensi, lalu kembali pasif ketika ditinggal berjalan sendiri.
Hal serupa tercermin dari statistik kunjungan harian situs desa. Pada periode akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2025, rata-rata kunjungan sempat melonjak tinggi bahkan menyentuh lebih dari 120 kunjungan per hari. Sayangnya, tren tersebut terus menurun hingga stabil di angka yang relatif rendah, yaitu di bawah 40 kunjungan harian. Penurunan drastis ini patut menjadi perhatian serius, karena menandakan bahwa keberadaan situs desa belum sepenuhnya dirasakan relevan oleh masyarakat atau tidak dikelola dengan rutin sehingga menurunkan minat kunjungan.
Distribusi versi SID juga memperlihatkan tantangan tersendiri. Sebagian besar desa masih menggunakan versi lama, dengan jumlah terbanyak bertahan pada versi jauh di belakang pembaruan terbaru. Padahal, versi yang usang berimplikasi langsung pada keamanan, stabilitas, dan keterbatasan fitur. Kondisi ini sejalan dengan data status aktif-pasif: lebih dari setengah desa tercatat dalam kategori βpasifβ. Fakta ini menunjukkan bahwa transformasi digital desa tidak hanya bergantung pada ketersediaan sistem, tetapi juga pada kapasitas sumber daya manusia desa, dukungan kebijakan, serta mekanisme pendampingan berkelanjutan.
Tambahan lagi, penggunaan tanda tangan elektronik (TTE) yang menjadi salah satu indikator penting modernisasi administrasi desa masih jauh dari optimal. Mayoritas desa tercatat βbelumβ memanfaatkan TTE, sebagian lain memilih βtidakβ, dan hanya segelintir yang sudah mengimplementasikan dengan konsisten. Kondisi ini menunjukkan adanya gap besar antara potensi pemanfaatan teknologi digital dengan realitas di lapangan.
Dari keseluruhan gambaran, terlihat jelas bahwa desa-desa digital saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada desa-desa pionir yang menunjukkan performa sangat tinggiβmampu menjaga situs tetap aktif, rutin diperbarui, bahkan berhasil menarik kunjungan masyarakat. Desa-desa ini layak dijadikan contoh baik dan inspirasi. Namun di sisi lain, jumlah desa pasif yang terus meningkat menunjukkan bahwa tanpa kebijakan strategis, kapasitas teknis, serta dukungan kelembagaan yang memadai, mayoritas desa akan terus berada dalam lingkaran βhidup-matiβ digitalisasi.
Pesan penting dari data ini adalah bahwa digitalisasi desa tidak cukup hanya dengan menyediakan aplikasi OpenSID. Perlu ada kebijakan daerah yang konsisten, dukungan anggaran khusus untuk pengelolaan data desa, peningkatan kapasitas operator, serta mekanisme evaluasi dan penghargaan yang jelas. Tanpa itu semua, transformasi digital desa berisiko mandek dan gagal menjawab tantangan pembangunan berbasis data.
Momentum ini seharusnya menjadi bahan refleksi bersama, terutama bagi para pengambil kebijakan daerah dan pegiat OpenSID. Data sudah menunjukkan dengan terang bahwa ada potensi besar, tetapi juga ada ancaman stagnasi. Pertanyaannya sekarang: apakah kita akan membiarkan digitalisasi desa berjalan sporadis dan musiman, atau berani mengambil langkah strategis agar desa benar-benar berdaulat dengan data?.